Tanda-tanda kekalahan Indonesia dari Bahrain sudah tampak sejak awal pertandingan. Tampil dengan mayoritas pemain-pemain muda yang minim pengalaman internasional, Indonesia sudah harus bermain dengan sepuluh pemain sejak menit keempat setelah kiper Samsidar dikartu merah.
Alhasil kiper pengganti, Andi Muhamad Guntur, harus menjadi bulan-bulanan pemain Bahrain dan kebobolan sepuluh kali. Kondisi itu semakin diperburuk dengan diusirnya pelatih Aji Santoso di babak kedua karena memprotes wasit.
Ini adalah kekalahan terburuk sepanjang sejarah sepakbola Indonesia. Sebelumnya kekalahan terburuk tim Merah Putih terjadi saat dilumat Denmark 0-9 pada laga persahabatan di Copenhagen, 3 September 1974.
Kekalahan Menyedihkan
Kekalahan telak Indonesia dari Bahrain langsung mendapat respon dari sejumlah pelaku sepakbola nasional. Mantan bomber Indonesia, Kurniawan Dwi Julianto, menegaskan dirinya sedih dengan kekalahan yang diterima Ferdinand Sinaga dan kawan-kawan.
"Jujur, saya kecewa dengan melihat hasil ini. Sebagai mantan pemain timnas, tentu saya sedih. Namun sebagai pecinta timnas, saya harus tetap mendukung para pemain," ujar Kurniawan kepada VIVAbola.
Hal senada juga diungkapkan mantan gelandang Indonesia, Fachry Husaini. Meski sedih, Fachry meminta masyarakat Indonesia untuk tidak melimpahkan kesalahan pada pemain dan pelatih Aji Santoso.
"Saya sedih padahal timnas sempat memiliki tren yang bagus. Tapi, coach Aji jangan dijadikan sasaran tembak. Dia telah melakukan yang terbaik. Namun, dia memang terlalu berani menurunkan pemain dalam pertandingan ini," kata Fachry.
Dualisme Kompetisi
Pelatih Aji Santoso memang terpaksa menurunkan pemain yang minim pengalaman. Hal itu menyusul keputusan PSSI yang melarang pemain dari Indonesia Super League (ISL) memperkuat Timnas Indonesia. Praktis Aji hanya bisa mengandalkan pemain-pemain terbaik dari Indonesia Premier League (IPL).
Kondisi tersebut sangat merugikan Indonesia. PSSI bisa saja berdalih mereka hanya menjalankan Statuta yang melarang pemain dari kompetisi luar membela Timnas. Namun, hal tersebut tidak berlaku buat Federasi Sepakbola Malaysia (FAM) yang tetap memainkan Mohd Safee Sali meski sang striker saat ini memperkuat Pelita Jaya FC di kompetisi ISL.
Safee tetap bisa memperkuat Malaysia saat bermain imbang 1-1 melawan Filipina, Rabu 29 Februari 2012. Bahkan Safee menjadi kreator gol penyeimbang tim Harimau Malaya yang dicetak oleh Shakir Ali di pengujung pertandingan.
Keputusan FAM untuk tetap memainkan Safee didasari pernyataan Sekjen AFC, Alex Soosay, yang mengatakan bahwa Safee masih bisa memperkuat timnas Malaysia hingga PSSI memecahkan persoalan ISL hingga 22 Maret 2012.
Situasi tersebut yang tidak dilakukan PSSI di bawah kepemimpinan Ketua Umum PSSI, Djohar Arifin Husin. PSSI tetap berpegang bahwa menggunakan pemain dari ISL melanggar Statuta. Terlebih hingga kini PSSI tidak mengeluarkan klub-klub ISL dari keanggotaan mereka.
Nama-nama pemain gaek seperti Firman Utina, Bambang Pamungkas ataupun Cristian Gonzales memang sudah saatnya diganti. Namun, kita tidak bisa menutup mata kalau talenta muda terbaik Indonesia sebagian besar berada di ISL.
Pemain muda seperti Titus Bonai, Patrich Wanggai, Ramdani Lestaluhu, Oktovianus Maniani dan kiper Kurnia Meiga pantas mengenakan seragam Merah Putih.
Tanggung Jawab
Banyak pihak menyayangkan sikap PSSI yang melarang pemain-pemain ISL membela Timnas hingga akhirnya dilumat Bahrain 0-10. Salah satu pernyataan keras datang dari mantan pelatih Timnas Indonesia, Benny Dolo.
Pelatih yang akrab disapa Bendol tersebut menyesalkan sikap PSSI yang tidak memperjuangkan pemain-pemain ISL membela Timnas, layaknya yang dilakukan FAM terhadap Safee. Bendol juga menilai PSSI harus bertanggung jawab atas kekalahan memalukan dari Bahrain.
"Para pengurus harus bertanggung jawab, karena mereka mengemban amanat bangsa Indonesia. Kekalahan melawan Bahrain ini mencoreng nama kita di pentas sepakbola Internasional. Kita seperti bunuh diri," tegas Bendol.
Fachry Husaini juga meminta PSSI untuk bertanggung jawab atas kekalahan dari Bahrain. Mantan pelatih Bontang FC itu juga meminta PSSI segera menyelesaikan dualisme kompetisi yang telah berimbas negatif ke prestasi Timnas.
"Kekalahan ini juga menjadi tanggung jawab pengurus. Kekalahan ini akan tertulis di media-media Internasional. Kita seharusnya berkaca dan berinstropeksi. Apakah sikap yang diambil itu menguntungkan atau tidak. Imbas dualisme ini telah menjalar ke segala aspek dan berdampak ke Timnas," cetus Fachry.
VIVAbola sendiri telah berusaha menghubungi Ketua Umum PSSI Djohar Arifin Husin untuk meminta tanggapan, baik lewat telepon dan pesan singkat. Namun, hingga artikel ini diturunkan, Djohar tidak bisa dihubungi
sumber
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment